Menjadi Perempuan

Monday, February 22, 2021


Ngomongin soal perempuan rasanya selalu terbayang-bayang soal insecurity ya, meskipun ga cuma perempuan yang suka merasa insecure, nyatanya yang paling banyak berbicara soal insecurity-nya ya para perempuan―baik itu di lingkungan keluarga, pertemanan, ataupun di media sosial mereka. Saya sendiri salah satunya.

Semasa kecil sampai menginjak bangku SMP, saya engga pernah merasa insecure, bahkan iri sama perempuan-perempuan sebayapun engga. Dulu saya merasa udah cukup cantik, cukup baik, dan cukup berprestasi, meskipun dulu kaka perempuan saya sering ngatain kulit saya "item" saya masa bodo aja sih―tapi tetep merawat kulit ko, cuma ga berusaha buat bikin kulit saya lebih terang tone-nya. Sampai akhirnya saya masuk SMA dan punya pacar, baru deh insecurity itu muncul―dan datangnya dari komentar teman dekat sendiri. Mulai dari komentar soal saya yang punya payudara mini, soal proporsi badan saya yang menurut teman-teman saya itu terlalu kurus, sampai akhirnya secara perlahan saya dijauhi karena kurang hits di pergaulan kami pada masa itu.

Saya masih inget banget di sela-sela pelajaran kelas 12 SMA, entah tujuan teman saya itu bercanda atau engga, dia nyeletuk "ah tete lo mah kecil, suami lo entar mana puas". Disitu saya KESEEEEL BANGET, karena memang bukan cuma dia yang mengolok-olok soal payudara saya, tapi sebelumnya pun ada beberapa dan mereka semua perempuan. Saya sadar ko payudara saya kecil, saya juga gatau kenapa payudara saya berhenti tumbuh semenjak lulus SD, dan itu gabisa saya ubah kecuali saya ngelakuin prosedur operasi payudara, tapi memang harus ya saya nerima komentar sampai segitunya? terlebih lagi komentar itu datang dari mulut seorang perempuan juga yang saya yakin dia juga punya insecurity. Akhirnya saya bales dengan ngatain dia balik, tapi itu ga menenangkan hati saya, justru malah bikin saya ngerasa bersalah banget, karena apa bedanya saya dengan orang-orang yang ngatain saya itu kalau saya berperilaku sama? dan itu adalah pertama dan terakhir kalinya saya ngatain orang.

Berhari-hari bahkan sampai lebih dari 1 tahun saya berada di bawah bayang-bayang insecurity itu, dan bahkan lebih besar semenjak saya punya pacar. Waktu itu saya percaya bahwa komentar teman-teman saya soal penampilan fisik saya itu benar, makanya dulu saya selalu mikir kalau pacar saya itu ga bakal mau nikahin saya suatu hari nanti simply karena saya merasa ga cukup "appetizing", saya selalu ngerasa bakal ditinggalin kapanpun dia ngerasa bosan, saya selalu cemburu sama teman-teman perempuannya yang punya fisik lebih sempurna dibanding saya, seakan-akan pacar saya itu bakal berpaling ke teman perempuannya. Tapi memang hidup tuh lucu, nyatanya malah pacar saya yang bikin saya sadar bahwa saya lebih dari apa yang teman-teman saya bilang.


Semakin banyak saya belajar memahami, akhirnya saya sadar bahwa saya dan perempuan-perempuan lain di luar sana bukan objek yang hanya bisa dinilai dari sisi keindahan dan kegunaannya, masih banyak hal-hal lain dari seorang perempuan yang bisa kita kagumi, ga melulu soal penampilan luar.

Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan "kekurangan" yang kita punya itu akan jadi suatu kekurangan bagi society yang ga bisa menghargai kita. Tapi sebaliknya, society yang menghargai kita akan menganggap hal itu adalah keunikan/kelebihan di diri kita. Ibaratnya nih, gaya berpakaian anak-anak fakultas seni yang kadang suka nyeleneh pasti bakal dianggap jelek/aneh sama anak-anak dari fakultas lain, tapi bagi anak-anak di fakultas seni, hal itu bakal dianggap keren, istilahnya mah nyeni banget. Makanya sejak saya berpikiran seperti ini, saya ga mau lagi memaksakan semua orang punya pendapat yang bagus tentang diri saya―terutama penampilan luar―dan saya ga bakal mendekatkan diri sama mereka, cukup tutup mata dan telinga kalau mereka ngomong macem-macem, karena saya yakin masih banyak orang-orang yang bisa menghargai saya dan orang-orang itulah yang seharusnya saya dekati.


Dari komentar-komentar buruk tentang saya itu juga saya jadi sadar bahwa yang selama ini sering menjatuhkan perempuan adalah sesama perempuan juga. Lucu banget deh, disaat banyak para perempuan menyuarakan haknya agar setara dengan para lelaki, justru malah masih banyak juga perempuan yang merendahkan perempuan lain. Bukannya bersatu melawan patriarki tapi malah bikin "lapisan" baru di kalangan perempuan sendiri yang misahin mana perempuan yang pantes dikagumi dan mana yang engga.

Padahal ya, menurut saya penampilan luar seorang perempuan tuh cantik banget mau diliat dari sudut pandang manapun. Bahkan waktu saya masih menekuni hobi fotografi, objek foto yang paling saya suka adalah perempuan, especially perempuan yang nyaman dengan penampilannya sendiri―entah mereka pake make up atau engga, kurus atau engga, jerawatan atau engga, dan lain sebagainya―karena entah kenapa selama mereka nyaman dengan penampilannya, fotonya akan selalu indah. Jadi menurut saya sih, gausah lah para perempuan merasa insecure dan membandingkan dirinya sama perempuan lain di luar sana, masih banyak hal yang bisa kita banggakan dari diri sendiri dan kita bisa ko membuat kebahagiaan kita sendiri, ga melulu melalui komentar orang lain terhadap penampilan luar kita yang bilang kita cantik, mulus, manis, dan sebagainya. Their words don't define us.







You Might Also Like

0 comments

Favorite Books

  • Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Damono
  • Kota Ini Kembang Api by Gratiagusti Chananya Rompas
  • Imaginary City by Rain Chudori
  • The 13th Curses by Michelle Harrison

Visit My Instagram

Contact

Name

Email *

Message *

Subscribe